Dialek atau Bahasa osing ?

Dari segi sejarah atau intern dari wong using sendiri baik lapisan bawah dan  atas ,semua sepakat bahwa bahasa osing adalah suatu bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa yang lainnya walaupun ada kemiripan2 tertentu.. penulis sendiri mengalami /melihat mengapa bahasa osing adalah bahasa tersendiri walaupun kalu dirunut dari atas masih mempunyai kesamaan-kesamaan dengan bahasa jawa kuno. salah satu dasar perbedaan bhs osing dengan bhs jawa adalah ketidakpahaman masyarakat using secara umum berbicara menggunakan bahasa jawa dari turun temurun.ini bisa di lihat dari bagaimana sebuah percakapan sulit  nyambung bila menggunakan bahsa yang berlainan.ini bisa sy lihat sendiri pada era tahun tahun 80 an kebawah……seiring dengan waktu dan kemajuan bukan tidak mungkin bahasa osing bisa berubah menjadi sebuah dialek
sebagian pakar linguistik memaksakan bahwa bahasa osing adalah sebuah dialek..saya terus terang kurang memahami penilaian sepihak ileh linguis.kenapa sebuah bahasa kelompok tertentu yang jelas mempunyai sendiri budaya,kebiasaan, sosial,karakter turun temurun bisa di kategorikan sebagai hanya sebuah dialek???apanya yang salah?mungkin bisa juga dipertanyakan” apakah bahasa Sansekerta bisa juga dikatakan sebuah dialek jawa? juga apakah bahasa minang yang nota bene adalah bahasa indonesia yang hanya banyak diberikan akhiran2 tertentu( kambing= Kambiang) juga dikatakan dialek melayu???dan yg lainnya spt jg bahasa jambi,palembang. untuk menentukan masyarakat bahasa juga tidak bisa hanya dengan dasar linguistik tetapi lebih di tentukan/pendekatan  faktor sejarah,politik dan identifikasi kelompok{Ibrahim,1994).disini seyogyanya melihat/memahami sesuatu tidak hanya dengan disiplin ilmu yang hanya berdasar teori-teori tertentu,tetapi yang lebih penting bagaimana ilmu bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.
menurut Safriandi, S.Pd. ada satutu hal yang menjadi permasalahandialek Permasalahan yang dimaksud adalah dialek memiliki ciri-ciri yaitu adanya rasa saling mengerti di antara penutur. Benarkah suatu ciri-ciri dialek seperti ini? Ketika di Sinabang, penulis berkomunikasi dengan masyarakat setempat dengan menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan masyarakat tersebut berbicara dengan menggunakan bahasa Jamèe. Meskipun berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, kami tetap dapat saling memahami. Kendala yang saya alami hanya tidak dapat berbicara dengan bahasa Jamèe, begitu pula sebaliknya. Apakah bahasa Indonesia dan bahasa Jamèe merupakan dialek?Sekarang, mari kita cermati kasus yang sama dalam lingkup yang lebih luas lagi yaitu di daerah perbatasan antara Belanda dan Jerman. Dalam berinteraksi, kedua penduduk yang terletak di perbatasan kedua negara ini menggunakan bahasa negara masing-masing. Artinya, penutur yang berbahasa Belanda akan berinteraksi dengan penutur yang berbahasa Jerman dengan menggunakan bahasa Belanda dan penutur berbahasa Jerman akan meresponnya dengan bahasa Jerman. Meskipun dengan bahasa yang berbeda, mereka tetap dapat saling mengerti. Apakah kedua bahasa ini merupakan dialek karena kedua penuturnya dapat saling mengerti terhadap bahasa yang diucapkan oleh masing-masing lawan tutur?kata Safriandi SpdBerkaitan dengan hal ini, Sumarsono (2007:24) menyebutkan bahwa ciri yang paling tepat untuk dialek adalah ciri sejarah dan ciri homogenitas.

Mari kita coba juga menyimak cuplikan ulasan dari Akhmad sofyan Dalam“Bagaimana Seharusnya Linguis Memperlakukan “Bahasa”? (Akhmad Sofyan)
Menurut Akhmad sofyan “Para linguistic menganggap  bahwa  objek  kajian  penelitian  bahasa  berkisar  pada  hal-ihwal struk tur  bahasa  dan  bukan  pada  segi  penggunaannya.  Persepsi  k edua  menilai bahwa  upaya  memahami  makna  dan  manfaat  bahasa  akan  berakhir  sia-sia,  jika penelaahannya  dilepaskan  dari  konteks  penggunaannya  dalam  kehidupan masyarakat dan budaya penuturnya. Begitu  juga  dalam  menentukan  masyarakat  bahasa.  Di  kalangan  linguis sampai sek arang masih terjadi ketidak sepahaman. Ketidaksepahaman di kalangan linguis  itu  terjadi  karena  satu  pihak   menggunakan  pendekatan  linguistis, sedangkan pihak  yang lain menggunakan sudut pandang sosiologis.  Linguis  yang  dapat  dikategorikan  sebagai penganut  persepsi yang  pertama adalah  Bloomfield  dan  Chomsky,  sedangkan  penganut  persepsi  yang  kedua adalah  Hymes.  Sebagai  bukti  bahwa  masih  terjadi  ketidak sepahaman    tentang definisi  masyarakat  bahasa  adalah  seperti  yang  dikemukakan  oleh  Wardhaugh (1988)  bahwa,  “Hymes  (1974,  p.47)  dis agrees  with  both  Chomsk y’s  and Bloomfield’s  definition  of a  speech community. He claims that these simply reduce the  nation  of  speech  community  to  that  of  language  and,  in  effect,  throw  out ‘speech community’ as a worthwhile  concept”.
kedua “bahasa”  terjadi kesalingmengertian (mutual intelligible), maka kedua  orang itu  merupakan  masyarak at  bahasa  yang  sama.  Dengan  demikian,  “bahasa”  yang dipakai  oleh  kedua  penutur  tersebut  tidak  dapat  dikatakan  sebagai  bahasa  yang berbeda, tetapi merupakan dialek dari satu bahasa.  Persepsi  yang  pertama  menganggap  bahwa  apabila  antara  penutur  dari Persepsi  yang  kedua  menganggap  bahwa  penentuan  masyarak at  bahasa tidak  didasarkan  atas  faktor-faktor  linguistik  murni,  tetapi  lebih  ditentukan  oleh faktor  sejarah,  politik,  dan  identifikasi  k elompok  (Ibrahim,  1994).  Hymes  (dalam Wardhaugh, 1988) mengatakan, “… speech  communities cannot be  defined  solely through  the  use  of  linguistic  criteria:  the  way  in  which  people  view  the  language they speak is also important, that is, how they evaluate accents; how they establish the fact that  they  speak one language  rather than another; and how they maintain language  boundaries”.
Maksudnya,  masyarakat  bahasa  tidak  dapat  ditentukan hanya  dengan  menggunak an  kriteria-kriteria  linguistis.  Bagaimana  cara  orang melihat  bahasa  juga  merupakan  sesuatu  yang  perlu  diperhatikan.  Misalnya,bagaimana  orang  melihat  sebuah  aksen;  apakah  mereka  menganggap  atau menetapkan  bahwa  merek a  menggunakan  bahasa  yang  berbeda  dengan bahasa yang digunakan oleh orang lain, serta bagaimana mereka menetapkan batas-batasbahasa,  merupakan  hal-hal  yang  harus  diperhatikan  dalam  menentukan masyarakat bahasa.  Sejalan  dengan itu, Halliday  (1968) mengatakan  bahwa mas yarakat  bahasa adalah  sekelompok  orang  yang  merasa  atau  menganggap  diri  mereka  memakai bahasa  yang  sama.  Dalam  menentukan  masyarakat  bahasa,  penekanannya adalah  pada  kata  merasa,  sehingga  yang menentuk an apakah  suatu mas yarakat merupakan bagian dari masyarak at bahasa yang lain  atau merupakan  masyarakat tersendiri adalah diri mereka sendiri. Berdasarkan  pendapat-pendapat  tentang  masyarak at  bahasa  tersebut,  kita dapat  mengatakan  bahwa  fakta-fakta  linguistik  tidak  dapat  dipergunakan  sebagai dasar  untuk  menentukan  apakah  bahasa  yang  dipergunakan  oleh  suatu masyarakat  merupakan  satu  bahasa  atauk ah  merupakan  dialek  dari  bahasa  lain. Hal  yang  paling  penting  dalam  penentuan  “bahasa”  adalah  bagaimana kelompok penutur tersebut menyikapi bahasa yang digunakannya.  Kedudukan  linguis  sebagai  makhluk  yang  paling  penting  dalam  bidang kebahasaan  dan  paling  berkepentingan  dengan bahasa menyebabkanpendapatnya  tentang  bahasa  menjadi  pertimbangan  utama  dalam  menentukan kebijakan bahasa. Dengan  dasar itu kita tidak  dapat menyalahkan  Hasan Ali  yang mengatakan  bahwa  para  peneliti  bahasa  (baca:  linguis)  sangat  merugikan masyarakat dan budaya Osing.  Namun demikian, dengan kedudukan itu yang harus kita sadari adalah  bahwa  predikat  itu  membawa  konsek wensi  berupa  tanggung  jawab. Tanggung  jawab  utama  kita  adalah  peles tarian  bahasa.  Kalau  sampai  terjadi sebuah  “bahasa”  (yang  banyak  jumlah  penuturnya)  menjadi  punah—apalagi kepunahan  itu  diak ibatkan oleh  kesalahan kita  dalam  memperlakuk an “bahasa”—maka  linguislah  yang  harus  bertanggung  jawab,  karena  secara  tidak  langsung telah  bertindak   sebagai  “pemerkosa”  bahasa.  Sebab,  menurut  Suriasumantri (2001),  seorang  ilmuwan  mempunyai  tanggung  jawab  sos ial,  dan  sangat berpengaruh  dalam  kelangsungan  hidup  bermasyarakat.  Seorang  ilmuwan  harus memberikan  perspektif  yang  benar  dengan  mempertimbangkan  untung-rugi  dan baik-buruk  dalam menyikapi suatu persoalan.  Dalam  kasus  “bahasa”  Osing,  sudah  jelas  masyarakat  Osing  menganggap diri  mereka  menggunakan  bahasa  yang  berbeda  dengan  dengan  bahasa  Jawa, tetapi para linguis tetap menyebutnya sebagai bahasa Jawa dialek Osing. Padahal kalau  kita  mengacu  pada  persepsi  yang  kedua  dalam  melihat  bahasa  sebagai objek  kajian,  bahwa:  dalam  menentukan  masyarakat  bahas a,  penekanannya adalah pada kata “merasa”.  Hal  yang  paling  menentukan  apakah  suatu  masyarakat  merupakan  bagian dari  masyarakat  bahasa  yang  lain  atau  merupakan  masyarakat  bahasa  tersendiri adalah  diri  mereka  sendiri.    Berkaitan  kriteria  masyarak at  bahasa itu,  yang  harus dijadikan  pertimbangan  utama  dalam  menentukan  “bahasa”  sebagai  bahasa ataukah  sebagai  dialek  dari  bahasa  lain  adalah  bagaimana  para  penuturnya menyikapi bahasa yang digunakannya.    Kalau sampai  terjadi gegeran tentang  penyebutan “bahasa”, dan “bahasa” tersebut  akhirnya  punah,  maka  sebagai  ilmuwan  kita  bukan  hanya  tidak memberikan  kemanfaatan  untuk  masyarakat. Lebih  parah  lagi,  kita  telah  menjadi “pemerkosa”.  Padahal,  menurut  Hoed  (2001),  s edapat  mungkin  kita  harus berupaya  agar  penelitian  yang  dilakukan  memberik an  manfaat  kepada  tiga  hal, yaitu: (1) untuk  peneliti  sendiri,  (2)  untuk  bidang  ilmu  yang bersangk utan,  dan  (3) untuk masyarakat. Penelitian  yang  tidak   memberikan  manfaat  untuk  masyarakat  (menurut  Hoed, 2001)  dapat  dikatakan  sebagai  penelitian  yang  tidak  sempurna.  Ilmu  harus mempunyai  kegunaan  praktis  dalam  menyelesaikan  mas alah-masalah kemanusiaan.  Pandangan  “ilmu  untuk  ilmu”  sudah  ketinggalan  jaman   Sekarang  bagaimana  dengan  komentar  sejawat  saya  bahwa,  “Wong linguistik iku  termasuk jenis  manusia  sing demen onani”?  Saya pikir sejawat saya itu  berk omentar  demikian  karena  ia  melihat  bahwa  para  linguis  hanya memperlakukan  bahasa  dan  pemakai  bahasa  sebagai  objek,  dan  bukan  sebagai subjek.  Para  linguis  a-priori  terhadap  keinginan  dan  sikap masyarakat  penutur bahasa  yang ditelitinya. Para linguis dilihatnya sebagai seorang  yang sangat egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Para linguis hanya memandang bahasa  dan penutur bahasa s ebagai “proyek” untuk dirinya sendiri. Harus kita akui,  bahwa  hasil-hasil  penelitian  linguistik   yang  telah  dilakukan selama ini kurang (kalau tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali) memberikan kemanfaatan  prak tis   untuk  masyarakat. Tetutamapenelitian-penelitian  bahasa yang  melepaskan  bahasa  dari  konteks  sosial  penuturnya.  Pihak  yang mendapatkan  manfaat dan kepuasan dari penelitian linguistik  hanyalah penelitinya  sendiri.  Manfaat  untuk  bidang  ilmu  pun  tampaknya  masih  perlu  dipertanyakan.  jelas Akhmad sofyan dalam “Bagaimana Seharusnya Linguis Memperlakukan “Bahasa”? dalam http://www.unej.ac.id

kelendi kang……….

ki kuda kedhapan

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Komentar

  • Mochammad  On Juni 29, 2010 at 8:32 am

    Hmmm, pusing ya hanya karena persoalan alat komunikasi di kalangan masyarakat osing itu bahasa atau dialek.
    Sebelumnya, perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat karena sudut pandang yang berbeda di antara para ahli bidang apa pun itu sangat wajar. Semua ilmuwan mestinya menyadari itu.

    Kembali ke soal dialek atau bahasa untuk alat komunikasi orang osing ini. Para ahli dialektologi tentu tidak bisa disalahkan. Untuk menentukan sebuah alat komunikasi suatu kelompok masyarakat (sebut saja “bahasa”) dikatakan sebagai dialek atau bahasa ada parameternya. Paramater itu menggunakan dasar kesamaan. Kalau persamaan “bahasa” Osing dengan bahasa Jawa yang meungkin sebagai induknya lebih besar (ada angka-angkanya)daripada perbedaan mereka, disimpulkan osing adalah salah satu varian dari bahasa Jawa. Demikian pula, sebaliknya. Kalau ternyata faktanya orang jawa tidak bisa memahami ketika berkomunikasi dengan orang osing dan “bahasa”nya kemungkinan besar perbedaannya lebih besar. Jika memang demikian osing adalah bahasa tersendiri; bukan varian dari bahasa Jawa atau salah satu dialek dalam bahasa itu.
    Itu dari sudut linguistik atau ilmu bahasa. Bagaimana dengan sudut pandang lain?
    Bahasa Indonesia serta bahasa Melayu yang di Malaysia dan Brunei adalah bahasa melayu dan orang di tiga negara itu masih dapat saling memahami kalau saling berkomunikasi. Tentu terlepas dari beberapa perbedaan yang karena perkembangan di wilayah negara masing-masing. Mengapa bahasa Indonesia tidak dinamai bahasa Melayu meskipun jelas-jelas diangkat dari bahasa melayu. Itu karena pertimbangan politis, pertimbangan politis masing-masing negara.
    Bagaimana dengan “bahasa” osing? Mungkin pakar dialektologi yang meneliti “bahasa” perlu mencari dasar-dasar lain untuk mencari sebarapa besar persamaan atau perbedaan bahasa itu dengan bahasa Jawa. Apabila dasarnya adalah kosa kata yang sesuai standar swadesh belum mampu menjawab, ya mesti cari parameterr lain. Barangkali dari segi kosa kata dasar itu memiliki banyak persamaan, sementara kata-kata yang lain di luar kosa kata dasar itu berbeda kenapa tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
    Rasanya kok nggak mungkin menentukan osing itu sebagai bahasa atau dialek berdasarkan alasan politis seperti bahasa melayu di tiga negara, indonesia, malaysia, dan brunei.
    Mudah2an polemik soal ini segera mendapatkan solusi. Sudah pasti persolan bahasa yang meneliti ya harus orang linguistik, mungkin untuk osing ini harus lebih melibatkan pakar bahasa dari cabang linguistik yang lain, tidak hanya pakar dialektologi.

    • osingkertarajasa  On Juni 29, 2010 at 5:09 pm

      setuju kang,………..
      ingin menggaris bawahi saja kang,seperti juga bahasa ind, apakah bisa juga dikatakan dialek melayu kenapa menjadi sebuah bahasa tersendiri.sementara secara keseluruhan bhs ind berasal kosa kata melayu.

  • guntoro  On Februari 1, 2011 at 12:42 pm

    sfs

  • guntoro  On Februari 1, 2011 at 12:44 pm

    sekarang gini aja,kita orang indonesia paham bahasa melayu gk klo orang melayu ngomong?jujur saya gk paham,tapiiiiiii,bhasa indo itu berasal dari bahasa melayu,,,thx semoga bermanfaat

    • osingkertarajasa  On Februari 5, 2011 at 1:42 pm

      tul gan ,makanya dari bahasa melayu muncul bhasa indonesia dan bahasa minang….bukan dialek melayu atau dialek minang..

  • militan  On Februari 4, 2011 at 8:38 pm

    Aku cuma mau nanya. kira-kira dialeknya lebih dari 50% ngak yang menyimpang dari Bahasa Jawa? Kalau lebih 50% masukin aja bahasa Osing sebagai bahasa tersendiri. Bukan hanya sekedar bahasa dialek…. Mudah ‘kan.

    • osingkertarajasa  On Februari 5, 2011 at 1:29 pm

      sekitar 70 % gan yang menyimpang dari kosa kata jawa…..tapi yg lebih penting bukan itung2an % tapi lebih pada nilai sejarah untuk menentukan menjadi bahasa tersendiri.karena kalau sampai boso osing hilang yang bertangung jawab siapa……kira2 gitu gan…slm knal

    • osingkertarajasa  On Februari 5, 2011 at 1:39 pm

      menurut isun,sekitar 70 % gan yang menyimpang dari kosa kata jawa bisa dicek dilapangan …..tapi yg lebih penting bukan itung2an % tapi lebih pada nilai sejarah untuk menentukan menjadi bahasa tersendiri.karena kalau sampai boso osing hilang yang bertangung jawab siapa……kira2 gitu gan…slm knal

Tinggalkan komentar