Pokok-pokok pikiran yang mendasari penetapan Tanggal 18 Desember 1771 sebagai Hari Jadi Banyuwangi

by Pusaka Jawatimuran

Pencarian hari lahir seseorang dengan hari lahir atau hari jadi sebuah kota atau daerah tentulah berbeda. Hari lahir seseorang selalu bersifat fatum (nasib, takdir). Kapanpun seseorang dilahirkan, mungkin pada hari yang paling buruk. kita tidak dapat mengubahnya. Secara factual itulah hari lahirnya. Namun pencarian hari lahir atau hari jadi sebuah kota atau daerah, selalu didasarkan kepada maksud tertentu, biasanya dalam upaya membangkitkan rasa bangga rakyat akan sejarah daerahnya, yang karena itu kemudian akan dapat mendorong mereka untuk mencintai daerahnya, dan pada tahap berikutnya akan dapat mendorong mereka untuk ikut serta secara ikhlas dan bangga dalam pembangunan daerahnya di segala bidang. Dengan perkataan lain, pencarian dan penetapan hari lahir atau hari jadi sebuah kota atau daerah lidak harus didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat fatum.
Karena itulah, dalam hubungannya dengan hal di atas, penetapan hari jadi kota atau daerah dimanapun, seperti hari jadi Jakarta. Surabaya, Kediri, Mojokerto, Tuban, Gresik, Ngawi, Sumenep, Lumajang dan lain-lain, selalu diambil dari suatu peristiwa yang paling bersejarah dari kota atau daerah yang bersangkutan, yang dapat menimbulkan rasa bangga, “pride”, masyarakatnya. Dengan perkataan lain, penetapan hari jadi sebuah kota atau daerah selalu bersifat ideal.

SEBAGAI CONTOH:

1. Hari jadi Jakarta, tanggal 22 Juni 1527, diambilkan dari peristiwa ketika Falatehan (Fatahillah. Fadhullah Khan) dapat merebut pelabuhan Sunda Kepala dari Penguasa Penjajaran dan mengusir kedatangan orang-orang Portugis yang akan mendirikan kantor dagang dan perbentengannya di pelabuhan tersebut. Peristiwa dikukuhkan dengan mengubah nama pelabuhan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang kemudian menjadi Jakarta. Sebelum tanggal 22 Juni 1527 pelabuhan Sunda Kelapa sendiri sebenarnya sudah ada, sudah lahir.

2. Hari jadi kota Surabaya, tanggal 31 Mei 1293, diambilkan dari peristiwa dihancurkannya pasukan tartar (Kubilai Khan) oleh Raden Wijaya di Hujung Galuh, sebuah bandar kecil yang kemudian berkembang menjadi kota Surabaya. Sebelum tahun 1293 bandar kecil Hujung Galuh tersebut sebenarnya sudah ada, sudah lahir justru dalam sejarah toponim Surabaya pada waktu itu masih belum dikenal.

3. Hari jadi Mojokerto, tanggal 31 Mei 1293 (sama dengan hari jadi Surabaya), diambilkan dari peristiwa ketika Raden Wijaya mengkonsinyasikan pasukannya di sebuah desa kecil bernama Japan, pada saat raden Wijaya melakukan persiapan menyerang pasukan tartar di Hujung Galuh. Toponim Mojokerto pada waktu itu masih belum dikenal, karena nama kota ini baru muncul ketika desa Japan berkembang menjadi kota dan ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Mojokerto (oleh Belanda) pada tahun 1838.

4. Hari jadi Tuban, tanggal 12 November 1293, diambilkan dari peristiwa pelantikan Rangga Lawe sebagai Adipati Tuban oleh Raden Wijaya. Padahal kota Tuban sudah ada (sudah lahir) sebelum tahun 1293.

CATATAN
Dari beberapa contoh di atas, bahkan dari hampir semua hari jadi dari kota atau daerah yang telah disebut terdahulu tidak sebuah kota atau daerah pun yang lahir jadinya bersifat Belanda sentris. Sejalan dengan hal di atas, sejak tahun 1977 DHC Angkatan ’45 Banyuwangi telah menyarankan agar penetapan hari jadi Banyuwangi didasarkan setidak-tidaknya kepada tiga hal:

1. Unsur kesejarahan artinya didasarkan kepada fakta sejarah, bukan dongeng, legenda atau rekaan.

2. Unsur kesejahteraan artinya didasarkan kepada fakta sejarah, bukan dongeng. Legenda atau rekaan.

3. Unsur filosofi, yaitu unsur-unsur kepribadian Indonesia yang kemudian digali dan terkandung dalam Pancasila.

Ketiga unsur tersebut hendaknya merupakan unsur-unsur yang saling mengikat dan tidak terpisahkan. Karena apabila suatu peristiwa sejarah mengandung hanya satu atau dua unsur saja dari ketiga unsur tersebut di atas. maka peristiwa dimaksud tidak akan dapat secara utuh memberikan rasa bangga daerah.

Di samping ketiga unsur di atas dapat juga ditambahkan unsur data waktu yang paling tua dari suatu peristiwa sejarah. Namun tentulah unsur ketentuan peristiwa sejarah ini tidak akan menomorduakan apalagi mengabaikan ketiga unsur pokok di atas. Sebab unsur ketuaan saja dari suatu peristiwa sejarah umumnya tidak akan memberikan efek apapun unluk menimbulkan apresiasi masyarakat kepada sejarah daerahnya.

Berdasarkan unsur-unsur yang melandasi pemikiran untuk penetapan hari jadi tersebut di atas, maka pendapan hari jadi Banyuwangi yang didasarkan kepada puncak Perang Puputan Bayu tanggal 18 Desember 1771 sesungguhnya sangat ideal.

CATATAN:
Menurut data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blamhangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak Perang Puputan Bayu tcrsebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger (Putra Wong Agung Wilis) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768 . Namun sayang peristiwa tersebut tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang fihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke pulau Banda (Lekkerkerker), 1923: 1052-1053).

Mengenai hubungan antara toponim Banyuwangi dengan Perang Pupuatan Bayu secara ringkas dapat diterangkan sebagai berikut. Berdasarkan berbagai data sejarah, kita mengetahui bahwa sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691). Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah “perlindungan” Bali (1736-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan “mengelola” Blambangan (Ibid. 1923: 1045). Ketika pada tahun 1743 Jawa bagian Timur (termasuk Blambangan) diserahkan oleh Paku Buwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya, namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai “barang simpanan”, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu kapan saja kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat meminta bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum bergeming untuk menoleh ke Blambangan (Ibid. 1923: 1046). Namun, barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan (Lewat laporan mata-mata VOC Bapa Mida, Ibid, 1923: 1048/Setrayuda (Citrayuda) dalam Brandes, 1894: 356) dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi (yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung terperangah dan “berjingkrat-jingkrat” untuk segera merebut Banyuwangi dan “mengamankan” seluruh Blambangan” secara umum dalam peperangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 (lima tahun I) itu, VOC memang berusaha merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC karena terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah “dikuasai” Inggris.

Dengan semikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yang kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, Perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767, dan karena itu mungkin Perang Puputan Bayu tidak akan terjadi (puncaknya) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan antara Perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, Perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai Hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.

CATATAN KAKI

1. Wong AGung Wilis yang juga dikenal dengan nama Mas Sirna atau Pangeran Sirna, adalah buyut dari Pangeran Tawang Alun, dengan ibu dari Bali. Dia masih adik seayah dari Pangeran Danuningrat, raja Blambangan terakhir, yang dibunuh di Seseh, Bali, atas perintah raja Mengui. Wong Agung Wilis pernah menjadi patih dari Pangeran Danuningrat, sebelum akhirnya diberhentikan dan diganti oleh Sutajiwa (anak Danungrat) karena fitnah. Wong Agung Wilis sangal karismatik, sangat dicintai dan menjadi pujaan rakyat Blambangan. Dia dikenal sangat pemberani dan sangat mencintai leluhurnya, Blambangan. Sejak tahun 1763 dia tinggal di Bali dan kembali ke Blambangan pada tahun 1767 (setelah Banyualit diduduki oleh VOC) dalam rangka mempersiapkan perlawanan rakyat Blambangan terhadap VOC. Dia tertangkap di Blimbingsari (Kecamatan Rogojampi sekarang) karena luka-lukanya ketika mendukung penyerangan ke benteng VOC di Banyualit yang dipimpin oleh Pangeran Puger (Putra Wong Agung Willis). Oleh pengadilan VOC dia divonis dibuang ke Afrika Selatan, namun kemudian diubah dibuang ke Pulau Banda (Maluku). Wong Agung Wilis secara luar biasa dapat meloloskan diri lewat Pulau Seram ke Bali dan kemudian meninggal pada sekitar sebelum akhir tahun 1780 di Bali (Lekkerkerker, 1923: 1052-1053).

2. Sayu (Mas Ayu) Wiwit adalah putra dari Kuta Kedaton, wilayah Blambangan Tengah (sekitar Jember sekarang), Pigeaud, 1932: 256 dan 300). Dalam beberapa tulisan dikatakan bahwa dia putra Wong Agung Wilis. Kekeliruan ini mungkin akibat dari kesalahan dalam melakukan Transliterasi/transkripsi dari naskah babad Blambangan lama ke dalam bentuk kutipannya/terjemahannya yang baru (Ibid. 1932: 221 dan 257). Sayu Wiwit dikenal mempunyai kekuatan paranormal dan dapat kesurupan, kemasukan roh Mas Ayu Prabu (Mas Ayu Praba) dari Satrian (Kecamatan Rogojampi sekarang), putra bangsa Wong Agung Wilis (Ibid.1932: 297 dan 300). Dialah yang memimpin perlawanan terhadap Kompeni di wilayah Blambangan Tengah (Puger, Jember-Sentong, Bondowoso) dan sekitarnya (Op. cit. 1923: 1058). Selelah terdesak oleh pasukan VOC di Blambangan Tengah, dia bersama dengan kedua orang tuanya menyingkir ke Bayu, bergabung dengan Pangeran Jagapati (Op. cit. 1932: 256). Setelah Pangeran Jagapati gugur, bersama dengan Patih Jagalara dialah yang melanjutkan memimpin pasukan Bayu, khususnya pasukan wanita (Op.cit. 1932; 1926:401).

3. Pada lahun 1797 terjadi lagi pemberontakan (yang oleh orang-orang Belanda dikatakan dilakukan oleh orang-orang Lateng) (Blambangan) yang “biadab” yang dipimpin oleh Mas Sekar. Yang bermaksud membunuh semua orang Belanda yang ada di Blambangan. Pemberontakan Mas Sekar ini, yang mendapat dukungan Bali, dianggap yang paling berbahaya dari semua pemberontakan post Perang Puputan Bayu. Untuk menghadapi pemberontakan ini Belanda terpaksa mendatangkan bantuan beberapa kompi tentaranya dari Surabaya dan Semarang. Sayang pemberontakan ini gagal. Mas Sekar tertangkap dan dihukum berat (mati) sedang para pengikutnya banyak disiksa dan dibuang ke Semarang (Ibid 1923: 1062; 1926: 402).

4. Pada tahun 1800 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa laskar Lateng (Blambangan) yang dipimpin oleh seorang tokoh pejuang yang dikenal dengan julukan “Berngos Perada” (mungkin karena mempunyai ku1it yang kemerahan), yang oleh orang-orang Belanda dikatakan sebagai “Wilis-Sewu” ketiga, Laskar ini berpusat di Rajekwesi/hutan Betiri, dan dikenal sangat sukar ditundukkan (Ibid. 1926:401). Menurut catatan VOC/Belanda, perlawanan rakyat Blambangan khususnya di daerah-daerah pedesaan/pegunungan masih sering terjadi sampai dengan tahun 1810 (lbid. 1923: 401).

5. Dalam upayanya merebut Banyuwangi yang telah “dikuasai” oleh Inggris, VOC tidak langsung menyerang Inggris di Banyuwangi (tampaknya VOC menghindarkan peperangan terbuka antara Belanda dan Inggris), tetapi VOC berusaha untuk merebut Blambangan lewat Banyualit dulu (dekat Blimbingsari Kecamatan Rogojampi sekarang), dan akan memanfaatkan penguasa pribumi untuk mengusir Inggris dari Banyuwangi. Karena itulah segera setelah VOC dapat merebut Banyualit (tahun 1767) dan kemudian Ulu Pangpang. VOC mengangkat Mas Weka (Mas Una) dan Mas Anom (yang masih keturunan Tawang Alun) sebagai bupati-bupati (bupati “kembar”) di Blambangan. Namun karena kemudian Mas Weka dan Mas Anom ini dicurigai memihak kepada Wong Agung Wilis, kecuali bupati tersebut kemudian ditangkap dan dibuang ke Pulau Edam dan kemudian ke Pulau Banda (Ibid 1923: 1053).

Selain itu VOC mengangkat Bupati Sutanegara dengan patihnya Surateruna dan Bupati Wangsengsari dengan patihnya Jaksanegara. Namun kedua bupati tersebut dengan Patih Surateruna (ketiganya turunan Tawang Alun) kemudian membelot memihak kepada Rempeg (Pangeran Jagapati) dan menjalin hubungan dengan Bali untuk melawan Belanda. Karena itu kedua bupati tersebut dan Patih Surateruna ditangkap (tahun 1771) dan dengan seluruh keluarganya dibuang ke Ceylon (Srilangka) (Ibid. 1923: 1053).

Kemudian VOC mengangkat patih Jeksanegara sebagai Bupati (tunggal) dengan Patih Jurukunci (Pigeaud, 1923: 304). Pasca masa pemerintahan Bupati Jekasanegara inilah pecah peperangan yang legendaris di Bayu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Puputan Bayu. Inggris baru terusir dari Banyuwangi setelah usainya peperangan tersebut.

Penunjukan Banyuwangi sebagai ibukota Kabupaten Banyuwangi setelah usainya peperangan tersebut oleh Mas Alit (Bupati Blambangan yang diangkat oleh VOC, dengan resolusi tanggal 7 Desember 1773) yang dilakukan oleh Mas Alit atas “advies” Schophoff, Residen Blambangan pada waktu itu (Op. cit. 1923: 1061), tentulah tidak lepas dari kepentingan VOC untuk menguasai dan mengamankan Banyuwangi serta melakukan pengawasan secara ketat atas (dan kelak sebagai batu loncatan ke Bali) (Op. cit. 1923: 1061).

DAFTAR BACAAN

Anderson, Benedicl R.
– Sembah-Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa, dalam Prisma, II November 1982.

Arifin, Winarsih
– Babad Wilis. Jakarta – Bandung. Lembaga Penelitian
Perancia untuk Timur Jauh, 1980.

Atmodjo. MM. Sukarto K.
– Hari Jadi Kediri (Sekitar Masalah Sejarah Kediri Kuna). Kediri: Lembaga Javanologi – Univ. Kediri,1985.

– Menelusuri Sejarah Hari Jadi Lumajang Berdasarkan Data Prasasti dan NaskahKuna. Makalah untuk seminar Sejarah Hari jadi Lumajang, 1990.

Brandes. Dr. J.
– Verslag Over Een Babad Blambangan. TBG-XXXVU/1894: 325 – 365

Darusprapta
– Babad Blambangan. Yogyakarta Univ. Gadjah Mada. 1984 (Disertasi).
– Babad Blambangan, Kajian Historiografi Tradisional. Makalah untuk Seminar Sejarah Blambangan, 1993.

DHC Angkalan ’45 Banyuwangi
– Pokok-pokok Pikiran Tentang Penetapan Hari Jadi Banyuwangi. Banyuwangi 1988.
– Kajian Tanggapan Pendapat tentang Hari jadi Banyuwangi. Banyuwangi, 1994. Ency lopedie van Nederlandasch Indie. Jilid I : A-G’s Gravenhage-Leiden. Marlinus Nijhoff-E.T. Bril. 1919.

Epp. Dr. F.
– Banyoewangi. TNI-L ii : 242–261

Graff H..T. de dan Th. G. Th. Pigeaud
– Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers, 1989.

Kartodirdjo. et.al. Sartono.
– Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Ketua Dewan Kesenian Blambangan
– Hari Jadi Banyuwangi, Sebuah Problematik. Makalah untuk Seminar Sejarah Blambangan, 1993.
– Alternatif Hari Jadi Banyuwangi, Surat Dewan Kesenian Blambangan, Banyuwangi, kepada Bapak Bupati Kdh. Tk. II Banyuwnagi Tanggal 28 April 1994.

Lekkerkerker, C
– Blambangan. Inclische Gids/1923 : 1030-1067
– Banjoewangi 1880 -1810. Indische Gids 1926 : 101-104

Marrson, G.E.
– Eastren Java – History and Literature of Blambangan. Passau Ulyer stone, Cumbria : Sixth European Colloqquium on Indonesia and Malay Studies. 1978.

Mirsha, I Gusti Ngurah Rai
– Sejarah Blambangan dan Bali. Manakah untuk Seminar Sejarah Blambangan, 1993.

Notodiningrat, K.R.T.
– Babadipoen Negari Blambangan Ngantos Doemoegi Negeri Banjoewangi, KGBDCXII 1919.

Pigeaud. Th. G.Th.
– Stukken Bctreffende het onderzoek in Blambangan. TBG-LXIX 1 1926 : 208-220
– Verslag Over het Blambangan –onderzoek in 1928. TBG-LXX 1 1930 : 98 – 101
– Aanteekeningen Betreffende den Javaanchen Oosthoek. TGB-LXXIII 1932:215-313

Shadily, et AI. Hassan
– Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: P.T. Ichliar Baru – Van Hoeve, 1987

Soekanto, Dr.
– Dari Jakarta ke Jayakarta, Jakarta PT. Soeroengan, 1975.

Tim Hari Jadi Banyuwangi (Tim I).
– Hari Jadi Banyuwangi. Makalah usulan unluk penetapan hari jadi Banyuwangi, 1997.

Tim Jurusan Sejarah FS Univ. Jember
-Pangeran Agung Wilis dari Blambangan, Suatu Kajian Awal, Manakah untuk Seminar Sejarah Blambangan, 1993 .

Timoer, Soenarto
– Mencari Hari Jadi Mojokerto dan Permasalahannya, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Mojokerto, 1992.
– Mitos Cura-bhaya. Jakarta : Balai Pustaka, 1983.

Tim Permusiuman Blambangan
– Hari Jadi Kota Kabupaten Banyuwangi, Makalah usulan untuk penetapan hari jadi Kota Kabupalen Banyuwangi, 1987.

Warsley, P.J.
– Babad Buleleng. A Balinese Dynastic Genealogy. The Hage: KITL V-BI No.8. 1972.

Yunani, R.M.
– Penetapan hari Jadi Majapahit, Kebenaran atau Kecerobohan Ilmiah? Dalam Surabaya Post. Tanggal 13 Juli 1993.

 

http://jawatimuran.wordpress.com

 

Tinggalkan komentar