IDENTITAS KOMUNITAS USING

SEBLANG USING: STUDI TENTANG RITUS DAN
IDENTITAS KOMUNITAS USING

Oleh : Novi Anoegrajekti

Novi Anoegrajekti adalah Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, UniversitasJember

 

Abstract: The present research describes Seblang as village traditional
ceremony conducted by Using society in Banyuwangi once a
year. The Seblang ceremony is full of symbols. These symbols are the
reflections of feelings, emotion, and attitudes of the society. For its
community, Seblang is considered to be a concrete ideological culture.
The research uses a descriptive method, in which Seblang is analyzed
by empirical analysis using hermeneutic phenomenology. As a symbolic
expression of the community, Seblang is used as a means of
communication between humans and supernatural power.
Key words: Seblang, Using, rite, identity, power.
Dalam peta geografi kebudayaan Banyuwangi, komunitas Using menempati
wilayah tengah hingga ke arah timur Banyuwangi. Mereka berdiam
secara menyebar di Kecamatan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Singojuruh,
Genteng, dan Srono. Dalam kenyataannya sekarang, terutama di
dua kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk non-
Using yang kebanyakan datang dari Jawa Kulon. Secara geografis,
wilayah ini berada di ujung timur pulau Jawa dan berseberangan dengan
pulau Bali. Kondisi geografis tersebut tenyata menempatkan komunitas
dan budaya Using berada di paling pinggir Jawa dan Bali.
Sejumlah ahli antara lain, Scholte (1927); Stoppelaar (1927), Herusantosa
(1987); dan Wolbers (1992), menyebut bahwa komunitas Using
terbentuk melalui proses sosial-politik yang cukup panjang, penuh
dengan ketegangan dan konflik antara penduduk-penguasa di Banyuwangi
di satu pihak dengan penduduk-penguasa Jawa bagian barat (wong
kulonan) dan Bali di pihak lain. Secara historis, Banyuwangi merupakan
pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih
merupakan bagian dari kerajaan Majapahit, seperti yang tertera dalam
berbagai babad berikut: Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang
Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan Babad Notodiningratan
(ArifiRnu, n1t9u9h5n)y. a Majapahit diakhir abad XV memberi kesempatan bagi
Blambangan untuk melepaskan diri dari kekuasaan manapun. Tetapi
kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian seperti Demak, Pasuruan,
Mataram, dan Bali ternyata tetap menempatkan Blambangan sebagai
daerah yang harus ditaklukkan dan dikuasai. Bahkan, Mataram bekerja
sama dengan VOC, sempat menaklukkan Blambangan pada tahun 1767.
VOC yang masih menganggap Blambangan belum aman, melancarkan
serangan berikutnya (1771-1772) yang memperoleh perlawanan keras dari
Blambangan di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati
sebuah pertarungan yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.
Belanda tidak hanya berhasil memenangkan peperangan itu, karena
tidak lama kemudian ia memboyong sejumlah tenaga kerja dari Cirebon,
Banyumas, dan Kebumen untuk diperkerjakan di perkebunan-perkebunan
milik Belanda yang ada di bumi Blambangan. Kehadiran tenaga kerja ini
kemudian disusul oleh gelombang migrasi dari Jawa Kulon untuk
berbagai pekerjaan, khususnya di bidang perkebunan dan pertanian yang
tampak membanjir sejak akhir abad XVIII atau awal abad XIX
(Stoppelaar, 1927:6; Herusantosa, 1987: 14; 84). Tidak hanya dari Jawa
bagian barat, migrasi serupa juga berdatangan dari Madura, Bali, Bugis,
dan Mandar sehingga sejak awal abad XIX Banyuwangi tidak lagi dihuni
oleh komunitas Using yang homogen melainkan bercampur dengan
berbagai pendatang. Jika pada akhir abad XIX penduduk Banyuwangi
berjumlah 100.000 jiwa, maka lebih dari separohnya diperkirakan berasal
dari kaum migran (Ali, 1993: 5).
Penegasan identitas diri terlihat sangat urgen bagi komunitas Using.
Keengganan bahkan ketidakmauan orang Using untuk mengidentifikasikan
diri sebagai orang Jawa, terwujud dalam penggunaan bahasa Using,
panggilan-panggilan keakraban yang khas, pembentukan pranata sosial
warung bathokan, sebutan-sebutan seperti wong Banyuwangi asli, wong
Anoegrajekti, Seblang Using: Studi tentang Ritus 255
Banyuwangen, wong blambangan masih sering terdengar sampai sekarang,
bahkan mereka membangun dan mengembangkan ritus serta kesenian.
Meskipun ritus dan kesenian tersebut memperlihatkan keterpengaruhan
dari Jawa dan Bali, oleh para ahli dikategorikan sangat spesifik,
merepresentasikan wawasan dan sikap Using yang egaliter serta
membersitkan semangat marjinalitas.
Salah satu ritus sangat penting bagi komunitas Using adalah Seblang.
Pengertian ritus adalah suatu stereotip tindakan-tindakan yang tertata
secara teratur yang meliputi sejumlah gerakan-gerakan, kata-kata, dan
objek-objek yang dilakukan di tempat tertentu dan didesain untuk
mempengaruhi entiti-entiti yang bersifat alamiah atau untuk mempengaruhi
kekuatan-kekuatan yang dituju (Turner, 1997:183-184). Masyarakat
setempat percaya, bahwa setelah melaksanakan kegiatan ritual hidup
terasa lebih tentram, terhindar dari gangguan roh-roh halus dan panen pun
menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika upacara tidak diselenggarakan disharmoni
akan terjadi dan keseimbangan ekologi akan terganggu, seperti
panen gagal dan serangan wabah pagebluk. Ritus ini juga menandakan
penghormatan terhadap roh leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal
masyarakat setempat. Menurut warga Olehsari, cikal bakal yang dikenal
luas adalah Aji Anggring, Buyut Cili, Mbah Saridin, Mbah Jalil, dan
Mbah Ketut, sekaligus menjadi roh pelindung masyarakat desa. Mereka
beranggapan kelalaian penghormatan terhadap cikal bakal dapat mengganggu
kemakmuran masyarakat yang bersangkutan.
Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan upacara Seblang
sebagai event kultural. Dengan demikian, gejala yang ada diartikan sebagai
kesatuan peristiwa-pelaku-penafsiran; sebuah komunitas melihat dan
menafsirkan kehidupan sekitarnya kemudian menampilkannya dalam
sebuah upacara. Sebagai siklus yang dianggap sakral oleh masyarakat
Using, maka upacara Seblang juga sarat dengan simbol-simbol yang
menyertainya. Unsur-unsur simbolis tersebut merupakan pengejawantahan
perasaan, emosi, dan tindakannya; dan tidak jarang unsur-unsur tersebut
seringkali menjadi pandangan hidup masyarakatnya. Selain itu, bagaimana
komunitas Using memandang, menyikapi, dan mensiasati himpitan
dua kebudayaan Jawa dan Bali.
Permasalahan pokok dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, apakah sebenarnya simbolisme dalam upacara Seblang; kedua,
apa yang ingin dijelaskan oleh komunitas Using dengan upacara Seblang
yang lahir saat terjadinya perebutan wacana ritus antara Jawa Kulon, Bali,
dan Using sendiri.
METODE PENELITIAN
Kajian ini diarahkan untuk memaknai ritus Seblang sebagai pertunjukan.
Pertunjukan dianggap sebagai mode perilaku dan tipe peris-tiwa
komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi dengan muatan
sosial, budaya, dan estetis; sebagai suatu aktifitas yang dilakukan oleh individu
atau kelompok dalam ruang dan waktu tertentu (Bauman, 1992:41-
47; Sutarto, 1997: 41-42). Untuk menafsirkan pertunjukan, perlu diketahui
pula latar belakang masyarakat yang terlibat, baik mengenai sejarah, budaya,
dan bahasa; selanjutnya seting pertunjukan harus dibatasi pada konteks
ruang, budaya, dan sosial tertentu pula. Selain itu, juga memfokuskan
pada deskripsi lengkap bentuk dan susunan, penggunaan bahasa, musik,
gerakan-gerakan dan interaksinya, serta interaksi antara para pelaku dan
penonton (Day, 1996:1).
Selain pertunjukan, untuk menafsirkan makna Seblang sebagai tindakan
simbolik, kajian ini memandang peristiwa ritus Seblang sebagai kesatuan
peristiwa-pelaku-penafsiran. Kajian ini juga menggali nyanyian
yang menyiratkan simbol-simbol dalam ritus Seblang. Pendekatan yang
digunakan dalam mengkaji simbol ritus Seblang adalah pendekatan yang
disebut Turner sebagai prossesual symbology, yakni bagaimana simbol
menggerakkan tindakan sosial masyarakat dan melalui proses yang bagaimana
simbol memperoleh dan memberikan arti kepada masyarakat dan
pribadi (Lessa dan Vogt, 1979: 91). Pendekatan ini lebih menitik-beratkan
pada dinamika sosial, berbeda dengan kerangka analisis struktural yang
statis, mapan, dan otonom karena tidak menggambarkan proses. Dengan
pendekatan tersebut, dapat diamati bagaimana masyarakat menjalankan,
melanggar, dan memanipulasi norma-norma dan nilai-nilai yang diekspresikan
oleh simbol untuk kepentingan kolektif dan pribadi (Turner,
1994:44). Hal ini mengingatkan bahwa simbol umumnya dihubungkan
dengan keinginan-keinginan masyarakat, tujuan-tujuan, dan maksudmaksud
tertentu yang diungkapkan secara eksplisit. Seperti halnya, apa
yang hendak dijelaskan oleh komunitas Using dengan upacara seblang
adalah suatu yang berkaitan dengan persoalan sosial, budaya, politik, ekoAnoegrajekti,
Seblang Using: Studi tentang Ritus 257
nomi, dan ekologi yang lebih luas.
Lokasi penelitian dipilih Desa Olehsari dan Bakungan, Kecamatan
Glagah, Kabupaten Banyuwangi yang sampai saat ini masih menyelenggarakan
ritus Seblang yang komposisi penduduknya didominasi komunitas
Using. Dalam tipologi tempat dan penduduk yang demikian, kebudayaan
Using menjadi sistem pedoman kehidupan dan merupakan kebudayaan
dominan. Identifikasi masyarakat Using dengan homogenitas kebudayaan
tersebut akan memudahkan untuk mengidentifikasi identitas kulturalnya.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth
interview) dan pengamatan terlibat ( participant observation). Kedua cara
tersebut diterapkan dalam konteks interaksi sosial secara informal dengan
para informan terpilih. Penggunaan teknik wawancara mendalam dimaksudkan
untuk memperoleh sejumlah data dan informasi dari para informan
secara langsung. Informan yang akan menjadi subjek penelitian ditetapkan
berdasarkan kriteria tertentu dengan harapan agar data yang akan diakses
representatif dan sesuai dengan tema penelitian.
Informan yang diwawacarai terdiri dari informan pangkal, informan
utama, dan informan penunjang (Soejito, 1984:11-12). Informan pangkal
adalah para pejabat pemerintah di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa
di wilayah Banyuwangi. Informan utama adalah pelaku ritus, kesenian,
dan tradisi lisan yang bersangkutan, seperti dukun, penari, pengudang,
sinden, gandrung, dan pemusik. Termasuk dalam kategori informan utama
adalah orang-orang yang pernah aktif terlibat, mereka yang dipandang
memiliki hubungan sosial yang luas dengan masyarakat dan memiliki
pengetahuan yang memadai dan pengalaman sehingga dapat menerangkan
dan mensikapi tradisi yang ada. Sedangkan informan penunjang adalah informan
yang memiliki informasi tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan Seblang karena pernah menonton atau meneliti hal-hal yang berkaitan
dengan Seblang.
Sedangkan pengamatan terlibat dimaksudkan untuk menginterpretasi
makna pola-pola perilaku masyarakat yang diteliti. Hal ini mengingat
bahwa tidak semua pengetahuan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan
dapat dengan mudah dikemukakan dengan bahasa sehari-hari.
Penggunaan cara ini dimaksudkan untuk mengamati pertunjukan Seblang,
kesenian, dan tradisi lisan yang dilahirkannya dalam kaitannya dengan
situasi kondisi sosio-kultural yang mengitarinya. Di samping menerapkan
kedua teknik tersebut, kegiatan pengumpulan data sekunder dilakukan
dengan memanfaatkan dokumen-dokumen dan hasil-hasil penelitian terdahulu
mengenai objek yang diteliti.
Proses penggalian data dilakukan sebagaimana penelitian etnografis.
Ciri-ciri khas dari metode penelitian etnografi adalah sifatnya yang holistik-
integratif, thick description, dan analisis kualitatif dalam rangka
mendapatkan native’s point of view; dalam hal ini memfokuskan kajiannya
untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budayanya
dalam pikirannya dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan
(Marzali, 1997:xvi-xvii)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seblang adalah upacara ritual bersih desa atau selamatan desa yang
diselenggarakan setahun sekali dan kemungkinan dianggap sebagai pertunjukan
yang paling tua di Banyuwangi (Scholte, J., 1927: 149-50; Wolbers,
P.A. 1992:89; 1993:36). Ritus Seblang sebagai ekspresi simbo-lik
masyarakat petani pedesaan, khususnya masyarakat Olehsari dan Bakungan.
Ritus ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap roh leluhur yang
dianggap sebagai cikal bakal masyarakat setempat maupun para dhanyang,
yaitu sejenis roh yang menguasai dan menjaga desa yang diyakini
hidup berdampingan. Dalam kesadaran kosmologi Jawa, dhanyang,
lelembut, dan makhluk halus dianggap sesuatu yang nyata dan ada di alam
sekitar. Karena roh halus dipahami seperti manusia, maka dimensidimensi
yang mereka tempati terstruktur dalam hierarki yang rumit, mirip
dengan tatanan sosial manusia. Hierarki roh halus bertingkat dari bawah
ke atas, dimana penguasa menjamin kerukunan wilayahnya dengan cara
menjaga hubungan dengan kerajaan roh yang dipimpin Kanjeng Ratu
Kidul (Stange, 1998: 34-35).
Upacara Seblang diselenggarakan sebagai ungkapan rasa terima
kasih atas panen yang berhasil, kesuburan tanah, keselamatan warga desa,
penyembuhan penyakit, penghormatan cikal-bakal, dan mengusir roh-roh
jahat yang mengganggu ketentraman desa. Ritus Seblang tersebut dianggap
sebagai salah satu bentuk praktek sosial, semacam wadah untuk
mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan
untuk memperkecil ketidakpastian, ketegangan, dan konflik
(Geertz, 1989:13). Walaupun sebagian besar beragama Islam, masyarakat
Olehsari lebih dekat sebagai orang abangan, semacam religi rakyat yang
menitikberatkan pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa. Oleh karena
itu, dalam masyarakat petani pedesaan, tradisi selamatan merupakan
sarana untuk menciptakan hubungan manusia dengan alam dan manusia
dengan dunia supranatural yang secara eksplisit menerjemahkan suatu
simbolisasi keselarasan dan keseimbangan antara jagad gede dan jagad
cilik. Dengan demikian, selamatan dapat dianggap sebagai lambang kesatuan
mistis dan sosial bagi masyarakat pendukungnya dalam rangka
mempertahankan moral lokal (tradisi kecil) miliknya (Geertz, 1989: 13-
18; Redfiled, 1985:55-60; Irianto,1998:108).
Pertunjukan tari Seblang merupakan acara inti selama upacara berlangsung.
Tari Seblang yang berasal dari ritual pra-Hindu adalah tarian
kejiman atau tarian trance yang ditarikan oleh seorang gadis atau seorang
wanita dewasa dalam keadaan tidak sadarkan diri karena kemasukan roh
leluhur. Pertunjukan tari dengan penari yang tidak sadarkan diri ini mirip
dengan tari sanghyang di Bali, sintren di Jawa Barat, tari bissu di Sulawesi
Selatan, maupun pertunjukan nini thowong. Gerakan tari seblang
merupakan pantulan kekuatan bawah sadar yang lahir dari rasa ketakutan
dan hormat yang tinggi terhadap kekuatan dan kekuasaan di luar diri
manusia, di samping sugesti yang magis, pantulan asap dupa, mantra, dan
nyanyian mistis berbaur menjadi dasar ungkapan ritme yang merupakan
unsur utama tari (Murgiyanto dan Munardi, 1990:17).
Sebagai siklus yang dianggap sakral, upacara Seblang sarat dengan
simbol-simbol yang mengelilinginya. Hal ini terlihat dari ciri-ciri khas
dalam pelaksanaannya, seperti: (1) waktu upacara harus merupakan waktu
terpilih; (2) tempat penyelenggaraan upacara harus tempat terpilh; (3)
orang yang diupacarakan harus dalam keadaan bersih secara spiritual; (4)
upacara harus dipimpin oleh orang terpilih; dan (5) sesaji merupakan pelengkap
upacara yang tidak boleh ditinggalkan (Soedarsono, 1990:4). Selain
itu, simbol-simbol dapat terlihat dari setiap tahapan yang harus dilalui
pelaku seblang selama upacara berlangsung. Simbol bagi Ricoeur dirumuskan
sebagai sejenis struktur yang signifikan yang mengacu pada sesuatu
secara langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan
lagi dengan makna yang lain, yakni makna yang mendalam (secondary
meaning) dan figuratif. Hal ini dapat terjadi apabila menembus
260 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 2, Agustus 2003
makna yang yang pertama (1988:12).
Victor Turner, dalam bukunya yang berjudul The Ritual Process
menyebut tiga tahap dalam ritus keagamaan. Pertama, tahap pemisahan
(separation). Dalam tahap ini orang/komunitas yang menjalani ritus
dipisahkan dari dunia profan ke dunia sakral. Kedua, tahap liminal. Istilah
‘liminal” berasal dari bahasa latin limen yang berarti “ambang pintu”. Pengalaman
liminal bersifat ambigu, artinya “tidak di sana dan tidak di sini”.
Yang dialami dalam tahap ini adalah dunia yang tidak terbedakan (undiffrentiated),
anti struktur, hubungan yang terjadi adalah antar pribadi, bersifat
spontan, dan adanya kesamaan. Ketiga, tahap reintegration. Dalam
tahap ini orang/komunitas dipersatukan kembali dengan dunia fenomenal
sehari-hari. Dengan demikian, nilai-nilai atau makna hidup yang diperoleh
dalam pengalaman liminal orang/komunitas kembali lagi ke masyarakat
sehari-hari (1982:94-103; Winangun, 1988: 276-78; 1990:31-44)
Rangkaian upacara, terutama iring-iringan seblang merupakan puncak
integrasi dalam kesadaran kosmis. Seluruh rangkaian ritus menyatu
dan berada dalam suasana sakral, dimana setiap subjek dipisahkan dari
masyarakat sehari-hari, mengalami suatu keadaan yang lain dengan dunia
fenomenal, sebuah dunia yang terbedakan. Turner (1982:95-96) menggambarkan
dunia tersebut sebagai liminalitas, dalam pengertian sebagai
tahap di mana orang mengalami suatu keadaan yang ambigu, tidak di sana
dan tidak di sini, suatu keadaan ketidakberbedaan (undifferentiated). Ritus
Seblang juga mengantarkan komunitas seblang pada “ruang” ambang
pintu. Dalam situasi ini, komunitas mengalami keadaan ketidakberbedaan,
sebuah pengalaman yang “anti struktur”.
Dalam “ruang” tersebut, sebagai sifat liminalitas, komunitas seblang
mengalami pengalaman dasar sebagai manusia, kesadaran akan eksistensinya
sebagai manusia meningkat dan mengalami tahap refleksi formatif,
dalam arti merefleksikan ajaran-ajaran dan adat-istiadat untuk
membentuk diri sebagai anggota masyarakat dengan posisi yang baru.
Menurut Turner, selain memberikan motivasi dan nilai-nilai yang dalam,
ritus juga mempunyai peranan dalam masyarakat, yaitu: untuk menghilangkan
konflik; ritus dapat mengatasi perpecahan dan memba-ngun solidaritas
masyarakat, ritus dapat mempersatukan dua prinsip yang bertentangan
dalam masyarakat, dan dalam ritus orang mendapatkan motivasi
dan kekuatan baru untuk hidup dalam masyarakat sehari-hari
Anoegrajekti, Seblang Using: Studi tentang Ritus 261
(1982;Winangun, 1990:67).
Sebagai siklus yang dianggap sakral, keberadaan simbol berperan
penting dalam upacara seblang. Pertunjukan ritual Seblang dimaksudkan
sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menghadapi krisis dalam kehidupan
sehari-hari. Melalui sistem simbol tersebut akan tampak rumusan
pandangan-pandangan, abstraksi-abstraksi dari pengalaman yang ditetapkan
dalam bentuk yang dapat diindrai, perwujudan konkret dari gagasan,
sikap, putusan atau keyakinan (Geertz, 1992:6-7) dan unsur-unsur simbolis
tersebut merupakan implementasi dari perasaan, emosi, sekaligus
tindakannya yang seringkali menjadi pandangan hidup masyarakatnya.
Hal ini memperlihatkan terdapat hubungan yang erat antara ritus dengan
kehidupan sehari-hari masyarakat Using.
Pertunjukan Seblang dimainkan di atas tanah lapang. Panggung
diberi naungan payung agung. Dalam upacara-upacara tertentu di Jawa
dan Bali, ornamen payung menandakan simbol kekuasaan, a symbol of
dignity (Wolbers, 1992:97). Tutup payung berupa lembaran kain mori
berwarna putih dan tiangnya terbuat dari kayu setinggi kurang lebih tiga
meter dengan garis tengah lima meter ditancapkan di tengah arena. Pada
tiang diikatkan hiasan berupa janur kuning, batang tebu, dan daun kemuning.
Di bawah payung diletakkan gamelan atau musik pengiring yang terdiri
atas satu buah kendang, gong, saron, dan slenthem yang berlaras slendro.
Gamelan tersebut ditata dengan posisi melingkar. Alat perlengkapan
lain berupa tarup (pondok) menghadap ke timur (bahasa Jawa berarti:
wetan, kawitan, wiwitan, segala niatan manusia harus selalu ingat pada
asal mulanya [parwaning dumadi]). Pada sisi kanan-kiri dihiasi dengan
daun kelapa muda dan berbagai hiasan para bungkil (hasil pertanian
berupa: padi, jagung, ubi, kelapa, dan buah-buahan dan sepe-rangkat
sesaji yang diletakkan dekat pesinden dan perangkat gamelan.
Tahap awal upacara seblang diawali dengan peristiwa kejiman yang
dipimpin oleh seorang dukun laki-laki yang mendampingi seorang perempuan
setengah baya yang tidak sadarkan diri karena kerasukan roh halus.
Dalam perbincangan antara dukun dengan roh halus, ditentukan kapan dan
siapa yang menjadi penari seblang. Penari seblang harus seorang gadis
yang masih suci atau janda yang ditinggal mati suami dengan batas masa
tugas tiga kali atau tiga tahun. Penari yang terpilih merupakan keturunan
dari penari-penari sebelumnya.
Sehari sebelum upacara dimulai, diadakan selamatan di rumah pembuat
omprok dan di rumah penari seblang. Selamatan berlangsung sekitar
pukul 18.30. Sajian selametan berupa jenang abang, jenang putih, dan
nasi pecel. Selamatan dipimpin oleh seorang modin dengan memakai doa
cara Islam.
Saat pertunjukan ritual tari Seblang dimulai, sang

dukun berjalan
berputar di arena pentas dan berhenti di setiap penjuru sudut sambil mengucapkan
mantra dengan kepulan asap kemenyan: Isun pesen, rena wong
singana isun gandhah janji lan duwe kewajiban narima tamu para alus,
wis mula duwa adat tiap tahun, napaa adat niki mboten diangkataken,
memenang anak putu Seblang nangis-nangis (saya pesan, mengingat
warga Olehsari telah berjanji menjalankan kewajiban untuk menerima
tamu para alus (roh halus) setiap tahun, apabila adat ini tidak dilaksanakan,
keturunan anak-cucu Seblang akan menangis) (Subagyo, 1998:67).
Dengan alunan lagu Seblang Lakento, seblang ya lakento singkang
dadi lincakana berulang-ulang sampai penari tidak sadarkan diri. Jatuhnya
nyiru dari tangan penari merupakan petanda bahwa penari seblang telah
kemasukan roh halus dan tidak sadarkan diri. Ritual tidak sadarkan diri
dapat diidentifikasi sebagai sebuah genre yang mencakup variasi yang
luas dalam gaya dan substansi, seperti reog, jathilan, prajuritan, dan jaran
kepang (Stange, 1998:37).
Penari dalam keadaan trance dengan mata tertutup menari dengan
dibimbing oleh satu atau dua pengudang mengikuti alunan gamelan
ganding-gending yang dinyanyikan oleh enam atau delapan orang pesinden.
Tarian seblang sangat didominasi gerakan kaki yang diikuti gerakan
pinggul ke kanan ke kiri, dan lambaian tangan dengan sikap tegak dan
membungkuk. Dalam tari tradisional Banyuwangi, khususnya tari seblang
terdiri atas motif gerak, pola gerak, dan sekaran atau vokabuler. Masyarakat
setempat menandai ragam gerak seblang dengan nama: egol, sapon,
celeng mogok, dan daplang (Subagyo, 1998:80). Selama pertunjukan berlangsung
penari diringi dengan 27 nyanyian menari membentuk pola berputar
(melingkar) 4 atau 6 kali putaran berlawanan dengan arah jarum
jam. Setiap pergantian gending, penari beristirahat dan duduk di kursi
yang telah disediakan. Pada saat itu, sang dukun menghampiri penari
sambil membawa prapen yang diputar-putarkan di atas kepala dan mulut
penari. Hal ini dilakukan untuk memberi santapan kepada roh leluhur
Anoegrajekti, Seblang Using: Studi tentang Ritus 263
yang merasuk dalam diri penari.
Nyanyian yang mengiringi upacara Seblang meliputi: (1) Seblang lakento;
(2) Liliro kantun; (3) Cengkir gading; (4) Podo nonton; (5) Podo
nonton pudhak sempal; (6) Kembang menur; (7) Kembang gadung; (8)
Kembang pepe; (9) Kembang dirmo; (10) Layar kemendung; (11) Ratu
sabrang; (12) Kebyar-kebyar;(13) Bagus nyoman; (14) Sekar jenang; (15)
Ayun-ayun; (16) Tambak; (17) Petung wulung; (18) Punjari; (19) Sembung
laras; (20) Ayo kundur; (21) Kembang abang; (22) Kembang waruI;
(23) Celeng mogok; (24) Sondro dewi; (25) Agung-agung; (26) Upak
gadung; (27) Liliro gule; dan penutup Sampun.
Musik merupakan unsur yang signifikan dalam upacara seblang. Tidak
pernah ada adegan tanpa diiringi satu atau lebih nyanyian, seperti:
mendatangkan roh leluhur, tarian solo, tarian menjual bunga, tarian berpasangan,
iring-iringan (pawai), dan puncak dari ketidaksadaran semuanya
membutuhkan nyanyian dengan karakteristik tertentu. Gending
Kembang dirmo melukiskan adegan penjualan kembang dirma (terdiri atas
bunga wangsa, pecari, dan sundel), dan pembagian toya arum yang kadangkala
diisi daun pisang yang berasal dari omprok seblang (mahkota
terbuat dari daun pisang muda dihiasi bunga) menandai berkah yang
diberikan seblang (arwah leluhur) kepada warga desa. Bunga maupun
bekas mahkota dipendam di sawah atau kebun dipercaya berkhasiat untuk
kesuburan tanah, menolak mara bahaya, penyembuhan penyakit, dan
perolehan rezeki maupun jodoh.
Adegan tarian Ratu sabrang dengan iringan gending Ratu sabrang
menandai tari berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Visualisasi
tersebut, dengan menampilkan secara simbolik hubungan pria (dianggap
sebagai benih) dan perempuan (dianggap sebagai bumi atau tanah) tercermin
kekuatan atau magi simpatetis yang berkaitan dengan simbol kesuburan
pertanian. Adegan ini berkembang menjadi tari gandrung, sebuah
tarian sosial cenderung bersifat profan. Seperti halnya tayub, pada mulanya
tayub diselenggarakan masyarakat petani pedesaan Jawa sebagai
bagian dari prosesi ritual, oleh karena itu penyelenggaraannya dipercaya
memuat kekuatan atau magi simpatetis yang berkaitan dengan kesuburan
pertanian; sekarang bergeser, pertunjukan tayub tidak semata-mata untuk
kebutuhan integratif tetapi di balik itu tersimpan pertimbangan komersial.
Hal ini menunjukan keputusan rasional yang lakukan masyarakat petani
pedesaan Jawa dalam menyikapi sumber daya dan lingkungan yang ada
(Soedarsono, 1990:1-7; Irianto, 1998: 108-109).
Pertunjukan tersebut memiliki kemiripan dengan tradisi jaipongan,
joged atau ronggeng di Jawa Barat. Seni pertunjukan tradisional dengan
menampilkan tokoh wanita; dilangsungkan dalam kaitannya dengan ritus
kehidupan, terutama perkawinan, khitanan, upacara petik laut, dan peringatan
hari besar nasional. Hampir seluruh tulisan mengenai seblang yang
terpublikasi atau belum, menyatakan bahwa seblang merupakan akar
(sumber) gandrung (Murgiyanto, 1990:1; Sudjadi, 1986:68; Wolbers,
1992:10; 1993:35). Seblang yang berawal dari sebuah upacara religius dan
magis berkembang menghasilkan tari gandrung yang sangat populer.
Hari ketujuh sebagai puncak ritual seblang ditandai dengan upacara
kirab atau keliling desa yang diikuti oleh masyarakat setempat. Mereka
yang berkeliling adalah seluruh rombongan penari seblang diikuti oleh
warga desa dan masyarakat sekitarnya. Selama dalam perjalanan gamelan
dibunyikan, penari seblang hanya menari pada tempat tertentu, membentuk
pola melingkar dengan arah gerak tarian ke kiri. Dalam kosmologi
masyarakat tradisional setiap gerakan yang mengarah ke kiri mengandung
makna kesuburan (Kusnadi, 1993:35).
Lokasi yang dituju meliputi: balai desa, makam Buyut Ketut, kali
Antogan, sumber mata air, rumah sang dukun, perempatan mesjid desa,
dan terakhir menuju panggung pentas. Lokasi yang dianggap sakral: balai
desa, makam pendiri desa, dan sudut desa (pagar/benteng desa). Balai
desa sebagai pusat pemerintahan desa dianggap sebuah cerminan kosmos;
sebuah alam semesta dalam skala kecil. Sebagai pusat kosmos merupakan
pusat magis dari wilayah desa (Heine-Geldern, 1982: 2-8). Perjalanan
yang berawal dari suatu tempat, berkeliling, berhenti sejenak di tempat
tertentu, dan akhirnya kembali ke tempat semula tidak ubahnya sebagai
perjalanan manusia dalam suatu “ruang” dengan pencapaian tahapantahapan
tertentu. Perjalanan tersebut sebagai bingkai proses lahir, kawin,
dan mati untuk tahapan psikologis di mana kehidupan manusia pada hakikatnya
memproses kembali ke asalnya (Weiss, 1977:41; Effendy,
1999:216).
Upacara siraman dilakukan pada hari kedelapan yang merupakan
rangkaian penutup upacara Seblang dan diakhiri dengan selamatan yang
dihadiri oleh masyarakat setempat. Adapun sajian yang dihidangkan
Anoegrajekti, Seblang Using: Studi tentang Ritus 265
berupa nasi putih dan telur rebus yang dibungkus dengan dengan daun
pisang, serta jenang abang. Tindakan pelaku seblang melakukan mandi
saat upacara siraman, memperlihatkan adanya hubungan dialektis antara
peristiwa siraman dengan makna (meaning) yaitu pembersihan batin.
Tindakan bermakna ini menandakan pembersihan diri agar tercipta keseimbangan,
keharmonisan, dan keselarasan dengan tatanan alam (makrokosmos
dan mikrokosmos). Dalam “ruang” tersebut, sebagai sifat liminalitas
menurut Turner, komunitas seblang mengalami pengalaman dasar sebagai
manusia, kesadaran akan eksistensinya sebagai manusia meningkat
dan mengalami tahap refleksi formatif, dalam arti merefleksikan ajaranajaran
dan adat-istiadat untuk membentuk diri sebagai anggota masyarakat
dengan posisi yang baru.
Kapan tepatnya ritus ini mulai diselenggarakan oleh komunitas Using
tidak ada keterangan yang menunjukkannya. Beberapa asumsi yang
menunjuk akhir abad XVIII, awal abad XIX atau akhir abad XIX sebagai
permulaan ritus ini diselenggarakan ternyata hanya didasarkan pada sejarah
lisan. Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa kelahiran ritus ini
tidak bisa dilepaskan dari dua ritus yang sebelumnya dibawa oleh kaum
migran dari Bali dan Jawa. Kedua ritus itu adalah Sang Hyang dari Bali
yang dilakukan untuk menciptakan keseimbangan-keselamatan dan Nini
Thowok dari Jawa Kulon yang juga untuk bersih desa. Kedua ritus ini berlaku
cukup luas, meskipun hanya pada kalangan pendatang baik dari Bali
maupun dari Jawa kulon (Wolbers, 1992). Sebagai komunitas agraris yang
sangat bergantung pada pertanian, komunitas Using rupanya sangat tertarik
dan berkepentingan akan ritus semacam itu. Akan tetapi, potensi
oposisi dan kepentingan untuk selalu menegaskan identitas diri mengharuskan
komunitas Using untuk tidak tenggelam ke dalam tradisi dan kebudayaan
asing , melainkan justru menjadi pendorong untuk bermeditasi
dan berkreasi secara bebas dan terbuka.
Bahwa, di dalam kreasi ternyata komunitas Using tidak meninggalkan
sama sekali dua ritus yang lebih dahulu dikenal seperti yang terlihat
dalam Seblang adalah sesuatu yang wajar. Betapapun berjaraknya,
komunitas Using dan masyarakat migran yang hadir di Banyuwangi tetap
melakukan interaksi yang, disadari atau tidak, akan melahirkan persilangan
budaya secara wajar.
Jika ketiga ritus tersebut dibandingkan, maka beberapa kesamaan
pun terlihat, antara lain dalam tarian trance atau tarian kejiman, beberapa
syair nyanyian, beberapa alat musik dan dukun sebagai pemandu jalannya
upacara; tetapi Seblang bukanlah Sang Hyang dan bukan pula Nini
Thowok, karena jika disimak lebih detail ternyata perbedaan signifikan
pun juga terlihat sangat nyata. Misalnya, jika nyanyian-nyanyian dalam
Nini Thowok dan Sang Hyang dimaksudkan untuk memperoleh kesuburan
dan keselamatan desa, maka nyanyian-nyanyian di dalam Seblang dimaksudkan
untuk mendorong dan membangkitkan semangat perjuangan dan
me-negaskan identitas diri.
Sebagai ungkapan identitas diri, Seblang mungkin dipandang terlalu
abstrak dan kurang eksplisit. Karena itu, sejak pertengahan sampai akhir
abad XIX, komunitas Using menciptakan sebuah kesenian bernama Gandrung,
tradisi Warung Bathokan, dan Basanan-Wangsalan yang menurut
berbagai sumber merupakan pengembangan dari Seblang (Singodimayan,
1991). Kesenian ini sangat popular sebagai ciri khas komunitas Using,
walaupun dari beberapa segi ada kemiripannya dengan Tayub, Gambyong
dan Lengger dikalangan masyarakat Jawa dan Madura pendalungan. Sementara
Warung Bathokan dan Basanan-Wangsalan yang jauh lebih eksplisit
untuk mengidentifikasi keusingan dan membeda-kannya dari Jawa
kulonan kini relatif surut dan semakin jarang kita jumpai.
Penggunaan wangsalan dan basanan sebagai bentuk komunikasi komunitas
Using berlangsung juga di lingkungan warung bathokan di desadesa
atau di pinggiran kota. Sekitar abad ke-16 warung bathokan merupakan
bentuk interaksi dan pusat informasi masyarakat Using di Banyuwangi
ketika menghadapi kolonial Belanda. Saat itu, warung bathokan dijadikan
ajang tukar-menukar informasi bagi para pejuang Blambangan untuk
bertemu dan mengatur strategi. Dalam menyampaikan identitas
umumnya mereka menggunakan bahasa sandi binatang (babi, celeng, asu,
bulus) sebagai kode; yang akhirnya kebiasaan memakai bahasa sandi
menjadi ciri khas orang Using sampai sekarang.
Dengan demikian, penelitian ini menempatkan komunitas Using sebagai
yang dimarjinalisasi dalam posisi sejajar, mempunyai kekuatan dan
kemampuan untuk selalu menyikapi dan mensiasati apapun yang hadir
dalam posisinya yang di pinggir. Sebagaimana diasumsikan selama ini
bahwa kebudayaan Using adalah kekuatan marjinal, sebuah sinergi yang
niscaya tetap survive di antara himpitan dua kebudayaan dominan (Jawa
Anoegrajekti, Seblang Using: Studi tentang Ritus 267
dan Bali).
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mitos dan simbol
sangat berkaitan erat dan memiliki nilai kesakralan bagi komunitas Using.
Simbol yang muncul dalam upacara Seblang adalah simbol kebaikan dan
simbol kejahatan. Terdapat pandangan dunia komunitas Using bahwa
dengan pergulatan antar dua sisi yang berlawanan mengukuhkan normanorma
sebagai sumber tata nilai dan kaidah sosial yang dipandang mempunyai
peranan untuk menciptakan kerukunan hubungan dan keselarasan
kehidupan sosial masyarakatnya. Kebersamaan dan kesetaraan tersebut
menciptakan realitas struktur sosial yang bersifat horisontal (egaliter)
dalam menyikapi berbagai peristiwa. Dengan melihat fenomena-fenomena
sosial-budaya masyarakat Using menghasilkan pemahaman bagaimana
yang “asing” dalam upacara Seblang menjadi milik sendiri dan tidak asing.
Ritus Seblang merupakan sarana perantara untuk menemukan sebuah
kepastian bagi komunitas Using. Masyarakat pendukung menyikapi Seblang
sebagai wadah untuk menciptakan keharmonisan dan keseimbangan
kehidupan sosial sebagaimana yang terlihat selama ini sehingga
terjalin lestarinya ekosistem manusia dengan lingkungan alam Ritus Seblang
juga menunjukkan penanda identitas komunitas Using. Berawal dari
Seblang kemudian muncul identitas-identitas yang lain seperti, wangsalan
dan basanan, warung bathokan, dan gandrung. Identitas itu berada dalam
konteks pergumulan dengan kekuatan-kekuatan yang mengitarinya.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Hasan. 1993. Hari Jadi Banyuwangi: Sebuah Problematik. Makalah disampaikan
dalam Seminar Sejarah Blambangan. Banyuwangi: Dewan Kesenian
Blambangan.
Arifin, Winarsih, Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Bentang.
Bauman, Richard. 1992. Performance dalam Folklore, Cultural, Performance,
and Populer Entertainment. Richard Bauman (ed.). New York: Oxford
University Press.
Day, Tony. 1996. Study Pertunjukan dan Wayang Kulit Jawa: Ide-ide Dasar,
Pendekatan , dan Permasalahan. Makalah. Jakarta: ATL.
268 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 2, Agustus 2003
Effendy, Bisri.1999. Reog Ponorogo:Kesenian Rakyat dan Sentuhan Kekuasaan
dalam Masyarakat Indonesia.LIPI, jilid XXIV, No. 2.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi tentang Negara & Kedudukan Raja di
Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali.
Herusantoso, Suparman. 1987. Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi. Disertasi.
Jakarta: Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia.
Irianto, Agus Maladi. 1997. Tayub sebagai Kebutuhan Integratif Petani Jawa.
Tesis. Jakarta: Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia.
Kusnadi. 1993. Simbolisme Tari Seblang. Jember: Laporan Penelitian UNEJ.
Lessa dan Vogt. 1979. Reader in Comparative Religion: An Anthropologycal Approach.
New York: Harper & Raw, Publishers Inc.
Marzali, Amri. 1997. Apakah Etnografi Kata Pengantar dalam Metode Etnografi.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Murgiyanto, Sal, M. dan Munardi, A.M. 1990. Seblang dan Gandrung: Dua Bentuk
Tari Tradisi di Banyuwangi. Jakarta: Pembinaan Media Kebudayaan.
Redfield, R. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta:YIIS.
Ricoeur, Paul. 1988. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Don Ihd (ed.). Evanston: Northwestern University Press.
Scholte, J. 1927. Gandroeng van Banjoewangie. Djawa, VII.
Singodimayan, Hasnan. 1996. Warung Bathokan: Sisi Lain Tradisi Masyarakat
Using dalam Surabaya Post.
Soedarsono. 1990. “Tayub, Penyajian dan Tata Tarinya” . Makalah dalam Diskusi
Panel: Pergelaran Peragaan 3 Versi Seni Tari Rakyat Jenis Tayub. Surakarta:
UNS.
Soejito. 1984. Struktur Bahasa Jawa Dialek Tengger. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Stange, Paul. 1998. Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:
LKIS.
Stoppelaar, J.W. 1927. Blambangan Adatrecht. Wageningen: H. Veenman &
Zonen.
Subagyo, Hadi. 1998. Fungsi Ritual Seblang pada masyarakat Olehsari Kabupaten
Banyuwangi Jawa Timur. Tesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana
UGM.
Sudjadi. 1986. “Asal-usul dan Keadaan Kesenian Gandrung Banyuwangi Dewasa
Ini” dalam Soedarsono (ed.). Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. Yogyakarta:
Depdikbud.
Sutarto, Ayu. 1997. Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang:
Anoegrajekti, Seblang Using: Studi tentang Ritus 269
Dokementasi Historis, Analisis Morfologis, dan Etnografis untuk mengetahui
Konvensi dan Fungsinya. Disertasi. Jakarta: Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia.
Turner, Victor. 1982. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. New
York: Cornell University Press.
Turner, Victor. 1994. The Forest of Symbols, Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca
dan London: Cornell University Press.
Turner, Victor. 1997. Symbol in African Ritual dalam Symbolic Anthropology A
Reader in the Study of Symbols and Meanings. (ed.) Janet L. Dolgin, et al.
New York: Columbia University Press.
Weiss, Jerome, 1977. Folk Psicology of the Javanese of Ponorogo. NewHaven:
Yale University.
Wessing, Robert. 1998. “Perubahan Wujud di Hutan Sancang: Mitos dan Sejarah
di Jawa Barat” dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: LIPI.
Winangun, Wartaya, Y.W. 1988. “Aspek Liminalitas dan Komunitas dalam
Upacara Slametan” dalam Basis. No. XXXVII-7, Juli.
Winangun, Wartaya, Y.W. 1990. Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan
Komunitas menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius.
Wolbers, Paul, A. 1992. Maintaning Using Identity Through Musical Performance:
Seblang and Gandrung of Banyuwangi, East Java, Indonesia. Urbana:
Illinois.
Wolbers, Paul, A. 1993. The Seblang and its Music: Aspects of an East Javanese
fertility rite dalam Performance in Java and Bali: Studies of Narrative,
Theatre, Music, and Dance. Bernard Arps (ed.). London: Unversity of London

Tinggalkan komentar